Tuntutlah
Ilmu dari Buaian Hingga Liang Lahat
Saya
hanya seorang ibu. Tulisan ini hanya sekedar curahan hati saya setelah bergulat lama dengan pendidikan. Dengan kerendahan hati saya katakan bahwa, saya terlahir untuk terus belajar. Sejak saya dulu duduk di bangku sekolah, hingga kini sudah
berkeluarga dan memiliki anak. Semangat saya adalah tetap menuntut ilmu
kapanpun.
Prioritas itu pula yang kini
menjadi perhatian saya untuk anak-anak. Apapun kondisinya, saya yakin dan pastikan anak-anak mendapatkan pendidikan terbaik.Seiring
waktu berjalan, banyak hal yang saya cerna, bahwa begitu banyak aspek dari
pilar pendidikan yang terlewat dari apa yang sudah dijalani saya, anak-anak
saya dan anak-anak lain di negeri ini.
Kesenjangan
Kualitas Mutu Pendidikan
Sebagai
wanita yang hanya seorang ibu, saya membangun kesadaran bahwa pendidikan bukan hanya sebatas angka dan
selembar ijazah. Kesadaran ini adalah shock effect, betapa puluhan kawan
seangkatan saya yang lulus dengan predikat cum laude kesulitan mendapat pekerjaan.
Betapa pula beberapa orang yang saya kenal terjebak dalam pekerjaan kotor yang
nyaman-nyaman saja mereka lakukan. Sementara yang lainnya harus menempa tulang-tulangnya dua kali lebih keras agar bisa tetap bertahan.
Shock
effect ini pula timbul ketika anak-anak seusia putera saya dengan nyamannya
mengumpat guru. Beberapa anak yang lain lebih nyaman di luar sekolah. Puluhan
lainnya terjebak dalam kebosanan tidak berujung di bangku sekolah yang pengap.
Kesenjangan fasilitas dan kualitas dari pendidikan di sekolah elite, sekolah
yang standar dan sekolah di pedesaan. Dan puluhan permasalahan yang mengganjal
anak-anak negeri ini menjadi yang terbaik.
Apa yang salah?
Saya hanya seorang ibu. Nurani saya meringis, saat suatu ketika, saya terjebak pemandangan yang mengorek luka. Seorang anak seusia adik saya, berpeluh keringat memarkirkan motor para pembeli di pasar. Wajahnya keras dan kulitnya legam. Anak ini putus sekolah. Katakan pada saya kak, mengapa saya harus sekolah? ujarnya singkat.
Sebagai seorang ibu, saya hanya bisa menangis. Mengapa tak sedikit anak yang mengalami hal serupa? Ini bukan takdir. Negara ini kaya bukan? Bahkan jika saya tidak bisa menunjukkan buktinya pun, mata sudah bisa melihat. Puluhan orang kaya berlomba-lomba membeli properti berharga miliaran.
Apa yang salah?
Padahal
potensi anak-anak Indonesia tidaklah kalah dari anak-anak negara lain. Buktinya
segelitir anak Indonesia mampu bersaing dengan putera bangsa lain. Artinya,
kita bukanlah bangsa yang tertinggal kan? Namun pertanyaan yang menyembul
kemudian mengapa hanya segelintir saja? Apakah keberhasilan dan pendidikan berkualitas, tidak layak untuk anak miskin? Dapatkah setiap anak bersekolah gratis tanpa ragu akan mutunya? Bisakah mutu dan
kualitas pendidikan merata di seluruh Indonesia. Bahkan di sekolah yang teretak di desa terpencil sekalipun? Atau yang lebih muluk, bisakah setiap anak di usia sekolah mendapat santunan dari negara agar bisa sekolah layak?
Suatu ketika saat saya menghadiri prosesi imtihan sulung saya, dengan prosesi yang elegan
dan mewah, dalam lingkungan sekolah elite. Begitu bangganya saya, sulung saya berprestasi di usianya yang
masih kecil, dengan kemampuan yang bahkan mengalahkan saya, yang notabene juga
siswa terbaik di masa saya.
Kami hanya pegawai rendah. Kami mengorbankan banyak hal agar bisa menyekolahkan anak di sini. Sekolah dengan standar international. Harapan saya anak saya mendapat pendidikan terbaik dan lingkungan terbaik.
Kemampuannya
tidaklah lepas dari proses panjang dan penuh dedikasi dari guru dan fasilitas
terbaik, yang disediakan sekolah. Tangis saya kala itu juga pecah, karena
nyatanya dengan mata kepala saya saksikan banyak anak di tempat saya, belum
bisa merasakan apa yang anak saya rasakan. Jujur sekali saya berharap semua anak
bisa merasakan hal yang sama walau tidak bersekolah di lingkungan elite.
Saat mendengar tausiah ustadz di acara tersebut, saya tertohok bahkan
menangis. Beliau berharap, anak-anak lain bisa merasakan pendidikan yang sama seperti putra-putra kami. Saya sadari, sungguh jauh perbedaan fasilitas dan pengalaman sekolah yang anak saya rasakan. Untuk itu saya mengucap ribuan syukur.
Psikologis
Anak Penting dalam Proses Pendidikan
Saya
bukanlah pakar yang mengerti betul, bagaimana seharusnya pendidikan dijalankan
di negara ini. Dari sekian banyak permasalahan pendidikan, saya hanya mencoba sedikit berbagi.
Sungguhpun, pada kenyataannya saya hanya seorang ibu, yang pernah belajar di sekolah dan sedang mendidik anak yang juga dalam usia belajar di sekolah. Mengapa saya menggunakan kata belajar di sekolah? Karena bagi saya, belajar tidak cukup hanya di sekolah.
Sungguhpun, pada kenyataannya saya hanya seorang ibu, yang pernah belajar di sekolah dan sedang mendidik anak yang juga dalam usia belajar di sekolah. Mengapa saya menggunakan kata belajar di sekolah? Karena bagi saya, belajar tidak cukup hanya di sekolah.
Keinginan besar saya agar anak-anak mendapat pendidikan terbaik, bukan
berarti saya lalu mengaminkan setumpuk les untuk anak saya, disela kesibukan
dan tugas sekolah yang banyak. Beberapa materi ketangkasan saya haruskan untuk mereka, semisal berenang, beladiri dan olahraga ringan. Sejak awal anak mulai bersekolah, tujuan saya adalah anak-anak tangkas dan mampu. Bukan mendapat nilai terbaik melalui les-les yang
melelahkan.
Saya sebagian dari orang tua yang sadar, beban besar sedang ditanggung anak. Mereka lah yang bersekolah. Bukan kita orang tuanya. Dalam proses memang sempat saya iri pada anak sahabat yang dinobatkan menjadi siswa dengan nilai terbaik di sekolah. Kebetulan sekali anak tersebut satu sekolah dengan anak saya. Kenangan masa lalu, menimbulkan keinginan, agar anak saya juga sepintar temannya itu sempat ada. Namun saya sadar kemudian, saya tidak bisa memaksakan keinginan saya.
Saya juga sebagian dari yang menyesalkan penghakiman sebuah usaha dari anak-anak selama sekolah, hanya dengan angka. Lalu dengan sekonyong-konyong dinyatakan tidak lulus. Atau lulus, namun tanpa kemampuan dasar yang mantap. Karbitan. Saya akan jauh lebih khawatir jika anak lebih suka mencontek demi kebanggaan saya.
Jika pada akhirnya kini anak saya mampu bersaing dengan teman-teman seangkatannya, dengan prestasi yang membanggakan dan tanpa embel-embel les bertumpuk, semuanya adalah bonus dari pola yang saya coba terapkan selama bertahun-tahun.
Jika pada akhirnya kini anak saya mampu bersaing dengan teman-teman seangkatannya, dengan prestasi yang membanggakan dan tanpa embel-embel les bertumpuk, semuanya adalah bonus dari pola yang saya coba terapkan selama bertahun-tahun.
Pola
yang saya coba adalah membangun mental anak sebagai pelajar, sehingga anak menjadi pribadi ingin tahu. Diantaranya seperti
:
- Saya menanamkan dan mengajak anak berbicara walau dengan nada sedikit keras, bahwa dia harus menuntut ilmu sebaik mungkin selama masih anak-anak. Meskipun mereka tidak paham apa yang saya bicarakan. Saya yakin suatu saat, mereka akan mengerti, pentingnya belajar.
- Anak-anak mesti cukup istirahat setelah beraktifitas lama. Tidak membiarkan anak tidur saat mereka ingin saja. Agar ketika bangun, otak mereka kembali siap untuk belajar.
- Bicara pada anak dengan kata-kata yang pas. Semisal, pada anak yang telah cukup besar, saya katakan bahwa akan mejadi kerugian jika tidak belajar sungguh-sungguh selagi masih kecil. Dan pada anak-anak yang masih kecil, saya katakan kamu sudah besar, bukan anak kecil kan ? maka harus rajin belajar.
- Saya yakinkan anak, berapapun nilai yang mereka peroleh, itu tidak akan mengecewakan saya, selama anak telah berusaha belajar.
- Saya tidak mentolerir mengintip pekerjaan teman. Berbuat curang.
- Saya selalu katakan tidak ada kata tidak bisa atau tidak tahu. Yang ada adalah tidak mencoba. Jika sudah mencoba tetap tidak bisa maka coba lagi.
Mungkin
cara didik saya tidak sepandai pakar-pakar parenting dan psikolog ternama.
Namun apa yang telah saya lakukan selama ini, cukup membantu anak-anak saya.
Penting untuk membangun mental anak sebagai pelajar. Membuat anak-anak secara perlahan
sadar, bahwa belajar bagi mereka adalah hak sekaligus kewajiban. Membangun
psikologis anak sebagai pelajar menjadi dasar penting untuk proses belajar
anak.
Saya
pikir, membangun psikologis anak ini, bukan hanya semata kewajiban orang tua.
Melainkan juga guru-guru sekolah. Saya paham betul, bahwa guru mempunyai beban
eksra. Kewajiban menjalankan silabus dan melaporkan keberhasilan tugasnya pada
instansi dan juga tanggung jawabnya kepada orang tua siswa.
Namun
diatas itu semua, yang terpenting adalah kewajiban moral pada anak didik,
bagaimana anak-anak tetap ingin menimba ilmu, suka dan ingin tetap belajar.
Tidak bosan.
Seragam
yang Membosankan
Pernahkah
memperhatikan kebosanan anak pada seragamnya? Saya sering. Sudah sifat
anak-anak akan berkutat pada baju yang disukainya. Penggunaan seragam memang
bermaksud baik, agar tidak ada kesenjangan antara satu anak dengan anak
lainnya.
Tapi
ternyata, memang tidak diterima demikian oleh anak-anak. Anak saya contohnya.
Wajahnya selalu kesal jika harus menggunakan seragam sekolahnya. Saya bahkan
harus mengeluarkan uang ekstra, agar bisa membelikan kain yang paling enak agar
bisa mereka gunakan dengan nyaman di sekolah.
Mengapa
saya melakukannya? Mengapa saya menyoroti seragam?
Sederhana
saja, saya ingin anak-anak nyaman dengan pakaiannya, sehingga tidak mengganggu
prosesnya belajar. Kebosanan akan seragam saya kira tidak hanya dialami anak
saya. Bahkan suatu ketika saat saya mudik ke desa saya di Kandangan, saya juga
mendapati hal yang sama. Anak-anak disana begitu santai sekolah, dengan baju
seenaknya dan tanpa alas kaki. Seragamnya panas, Bu. Kata mereka santai.
Lebih
Mengasikkan Bermain Gunung Meletus
Saya
pernah mengajak anak bermain-main sains. Saya buat semacam gunung dari
plastisin, lalu saya masukkan cairan cuka dan pewarna ke dalamnya. Lalu dari
atas saya taburkan bubuk soda pada lubangnya. Dan wow, gunung meletus buatan
saya pun mengeluarkan lava.
Wuuooo...
anak-anak berseru senang. Mereka menagih lagi keajaiban lain permainan dari
saya. Ternyata modal saya beraktifitas di laboratorium berguna juga. Saya bisa
mengajak anak belajar sambil bermain. Tawa terus terpancar dari wajah mereka
selama kami bermain.
"Asikan
main-main begini ya, main gunung meletus... " celetuk anak saya.
Anak-anak
memang pribadi dinamis. Mereka selalu menyukai tantangan. Aktifitas fisik
dan segala macam hal seru yang menurut mereka hebat. Membuat belajar jadi hal
hebat pasti menjadi daya tarik bagi anak-anak.
Ah,
sekali lagi saya katakan saya hanya seorang ibu, yang ingin segala sesuatunya
menjadi yang terbaik bagi anak-anak saya. Saya hanya seorang ibu yang juga
ingin melihat anak lain di negeri ini mengalami hal serupa. Semoga...
Sumber foto dari :
No comments:
Post a Comment